
Beberapa tahun terakhir, banyak perhatian telah diberikan pada pengembangan produk farmasi yang berorientasi pada pasien, terutama dalam proses teknologi. Di antara banyak inovasi yang diperkenalkan ke pasar farmasi dan biomedis, pencetakan tiga dimensi (3D Printing /3DP) dianggap paling revolusioner dan efektif.

Apa itu 3D Printing? 3D Printing merupakan salah satu bidang teknologi, seni, dan sains yang paling cepat berkembang saat ini dan aplikasinya terus berkembang. 3D Printing didefinisikan oleh International Standard Organization (ISO) sebagai pembuatan objek dengan melapisi bahan menggunakan print head, nozzle atau teknologi pencetakan lainnya.
Secara historis, Sebuah objek 3D dicetak untuk pertama kalinya oleh Charles Hull pada tahun 1983. Hull menemukan pencetakan 3D yang ia beri nama “Stereolithography”. Hull kemudian mendirikan perusahaan 3D Systems yang memperkenalkan pertama printer 3D yang tersedia secara komersial bernama SLA-250 pada tahun 1988. Pada tahun 1992, mesin Stereolithography (SLA) pertama dikembangkan oleh Hull untuk membuat langkah pengembangan lain meskipun memiliki teknologi lain di bidangnya seperti Fused Deposition Modelling (FDM) dan Selective Laser Sintering (SLS). Perusahaan-perusahaan ini mulai memproduksi printer 3D berdasarkan teknologi SLS atau FDM. Selain itu, perkembangan transplantasi organ pada akhir 1990-an yang dilakukan di Institut Wake Forest untuk pengobatan regeneratif telah membuka beberapa peluang untuk rekayasa 3D printing.
Dalam dunia farmasi, 3D printing berfungsi sebagai teknologi untuk mengembangkan bentuk sediaan baru, rekayasa jaringan dan organ dan pemodelan penyakit. Manfaat teknologi 3DP memungkinkan untuk menyesuaikan obat dengan berat badan dan gaya hidup pasien dengan menyesuaikan dosis dan bentuk sediaan, seperti tablet orodispersible, pelepasan berkelanjutan, dan sebagainya. Hal ini membuat penerapan 3DP sangat berguna dalam pengembangan pengobatan personalisasi. Keuntungan dari 3D printing ini yaitu dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas dan sustainable serta teknologi ini bisa digunakan dalam personalized medication.
Kemajuan teknologi yang muncul seperti 3D Printing ini dapat menciptakan produk atau layanan baru, atau mengembangkan proses baru yang diharapkan dapat meningkatkan hasil medis atau kesehatan. Hal ini menghadirkan tantangan yang berbeda dan baru dalam pelayanan kesehatan, khususnya di bidang medis.
Untuk memproduksi sediaan obat dengan teknologi 3D printing yaitu dengan menggunakan langkah-langkah dasar diantaranya sebagai berikut :
1) Desain dosis dan konversi ke format yang dapat dibaca printer
2) Persiapan bahan baku (serbuk, partikulat, butiran)
3) Pembuatan filamen mulai dari pembentukan hingga pendinginan filamen
4) 3D printing
5) Pemindahan dan pemrosesan hilir (seperti pendinginan, pengeringan, dan pengemasan)
Dalam proses 3D printing obat, ekstrusi filamen bersama dengan melarutkan API yang memiliki kelarutan yang rendah ke dalam eksipien merupakan proses yang sangat penting karena mempengaruhi bioavailabilitas sediaan. Setelah itu, sediaan akan dilakukan pengujian meliputi uji kekerasan tablet dan kerapuhan tablet, drug loading pada filamen dan tablet, scanning electron microscope (SEM), analisis termal, dan disolusi obat secara in vitro.
Pada tahun 2015 obat cetak 3D pertama diluncurkan. Spritam, pil yang dibuat dengan teknologi alas bedak, dikembangkan untuk pengobatan epilepsi. Ini juga merupakan obat pertama yang disetujui oleh FDA. Dikembangkan oleh Aprecia Pharmaceuticals, Spritam membuka pintu untuk pil yang disesuaikan, memungkinkan pengobatan dengan dosis yang berbeda untuk setiap pasien.
Temuan besar lainnya yang terungkap pada tahun-tahun awal pengembangan obat cetak 3D adalah studi oleh National University of Singapore (NUS) yang menunjukkan bahwa beberapa obat dapat dicetak dalam satu pil. Selain itu, penelitian tersebut mengungkapkan bahwa mungkin untuk menjadwalkan pelepasan setiap zat di dalam pil.
Pada bulan Februari 2021, persetujuan FDA diberikan untuk uji klinis obat cetak 3D untuk pasien dengan rheumatoid arthritis. Kemudian, pada Maret 2021, Badan Regulasi Obat dan Produk Kesehatan (MHRA) menerbitkan proposal untuk kerangka peraturan baru yang dirancang untuk memungkinkan pembuatan dan pengiriman POC, termasuk teknologi pencetakan 3D untuk pembuatan obat yang dipersonalisasi.
REFERENSI :
Abbas, J., Pandey, D,C., Verma, A., & Kumar, V. (2018). Management of acute diarrhea in children: is the treatment guidelines is really implemented?. International Journal of Research in Medical Sciences. 6(2) : 539-544.
Aquino, R.P., Barile, S.. Grasso, A., Saviano, M., 2018. Envisioning smart and sustainable healthcare: 3D Printing technologies for personalized medication. Future 103, 35-50.
Jamroz, W., Kurek, M., Lyszczarz, E., Szafraniec, J., Kowalczuk, J. K., Syrek, K. Paluch, M., Jachowicz, R. 2017. 3D Printed Orodispersible Films with Apipiprazole. International Journal of Pharmaceutics 533, 413-420
Jamroz. W., Szafraniec, J., Kurek, M., Jachowicz, R. 2018. 3D Printing in Pharmaceutical and Medical Application- Recent Achievement and Challenges. Pharm Res 35:176.
Melocchi, A., Parietti, F., Maroni, A., Foppoli, A., Gazzaniga, A., Zema, L., 2016. Hot- melt extruded filaments based on pharmaceutical grade polymers for 3D printing by fused deposition modeling. Int. J. Pharm. 509, 255-263.
Yang, Y., Wang, H., Li, H., Ou, Z., Yang, G. 2018. 3D printed tablet with inte scaffold structure using ethyl cellulose to achieve sustained ibuprofen rel European Journal of Pharmaceutical Science. 115, 11-18.
Zhang, J., Feng, X., Patil, H., Tiwari, R. V., & Repka, M. A. (2017). Coupling 3D printing With Hot-Melt Extrusion To Produce Controlled-Release Tablets. International Journal of Pharmaceutics. 519(1), 186-197.
PENULIS :
Apt. Farhamzah, S.Si, M.T.I, Adiva Nafila Zulfa, dan Kamelia Risna.